Sabtu, 05 Februari 2011

Aku dan Mimpi


 By Sinda Diadema

Kriiiiinggg... Kriiiingggg... Kriiinggg...
Demi apa sekarang jam 06.50?
Demi apa sekarang hari Senin?
Demi apa sekarang upacara?
Oh.. Demi penguasa bumi dan surga. Aku terlambat. Aku tak bisa lagi memikirkan hal-hal tak penting lainnya. Hanya sepuluh menit waktu yang tersisa untuk bersiap-siap. Apa buku pelajaran sudah dimasukkan? Apa ada PR? Apa perlu mandi? Dan seratus apa lainnya yang masih mengudara di mimpiku, I think it’s not a dream anymore.
Bruuuggh. Kakiku terbelit selimut saat hendak turun dari tempat tidur. “ Ok! I’m totally wake up, now. Welcome bloody Monday. You’ve burned my day, earlier. Great!” bentakku pada diri sendiri. Aku tergesa berajak, mengumpulkan kepingan nyawa dan kesadaranku yang masih berserakan di tempat tidur. Dengan panik aku sambar handuk dan bergegas mandi. Wow. Ini mandi tercepatku. Baiklah. Ini sudah pukul 07.00 tepat dan aku masih berada di rumah. Ke sekolah pun paling cepat 20 menit dan ini Senin. Hari di mana semua aktivitas dimulai untuk seminggu ke depan.
Angkot. Kali ini aku mohon jangan ngetem. Walaupun sedetik, itu sangat berarti bagiku. Mataku jelalatan melihat jam tangan. Mungkin hampir sedetik sekali. Sesekali supir angkot ini melirikku dari kaca spionnya. Jalanan terlihat sepi, makanya angkot ini leluasa sekali menunggu penumpang. Setengah jam berlalu. Aku baru sampai di depan pintu gerbang sekolah sambil terengah-engah. Menakjubkan. Sekolah tak berpenghuni. Aku mengintip lewat sela-sela pagar. Tak terlihat barisan demi barisan siswa sedang upacara. Satpam pun tak ada yang berjaga. Gerbang ini tergembok sempurna. Ada apa ini?
Aku mengintip lewat sela-sela pagar gerbang. Kali ini mengintip ke arah pos satpam. Mataku tercekat melihat kalender yang tergantung di dinding pos. Tanggal merah. What a perfect Monday! Kakiku melangkah gontai. Pantas saja orang rumah tidak terlihat batang hidungnya. Pantas saja jalanan sepi. Pantas saja supir angkot itu bertatapan aneh. Pantas saja...
***
“Ngapain lo, Far?” tanya Riza setengah tertawa saat aku melewati rumahnya. Oh, si anak bengis ini dengan santainya mencuci motor di halaman rumahnya. Bagus, dia tidak memberitahuku kalau hari ini libur, padahal rumah kami bersebelahan dan satu sekolah pula.
“Ngapain, kek. Udah gede ini gue.” jawabku setelah menghentikan langkah. Ia menghampiriku dengan selang di tangan kirinya.
“Ke sekolah, neng? Baru tau gue tanggal merah gini ada yang sekolah.”
“Berisik, lo. Gue gak punya tanggalan. PUAS??”
“Weesss. Becanda gue. Lagian lo rajin bener ke sekolah. Gua aja baru bangun seperempat jam yang lalu. Hahahhaa”
“Gue lupa, Za. Maklum, gue manusia jadi bisa lupa. Gak kayak lo.”
“Lah emang gue apa? Gue manusia juga kali.”
“Iya, manusia setengah gila.”
“Tapi hari ini gue libur dong. Tanggal merah. Jadi yang gila siapa sekarang?”
“Cape ah ngomong sama orang setengah waras kayak lo.” kataku setengah teriak dan berlalu masuk ke rumahku. Kegilaannya semakin menjadi. Dia mencuci motor sambil menyalakan musik kencang-kencang. Hanya satu lagu pula. Sehari saja bisa tidak aku tak berurusan dengannya? Kakak kelasku itu salah satu murid yang memiliki nama di sekolah atas prestasi bermusiknya. Bukan karena tampangnya yang charming itu. Buat apa berkharisma kalau setengah gila?  pikirku. Sayangnya, ia berhenti bermusik akhir-akhir ini. Pengagumnya di sekolah pasti takkan percaya dengan kelakuannya di rumah.
“Bisa dimatiin gak musiknya? Mau ngerjain PR nih sekalian mau doain supaya tetangga saya sehat lahir batin.” teriakku manis dari balkon atas. Lantunan Just The Way You Are  itu terhenti. Ia melirik ke arahku
“Doain juga yah biar tetangga lo itu cepet dapet jodoh. Oke?” pintanya dengan manis juga. Aku kembali berlalu dari hadapannya. Tentunya tidak belajar dan mendoakannya. Masih banyak yang harus aku doakan dan dia bukan prioritasku. Aku hanya ingin ia menghentikan kelakuannya itu. Seselesainya aku segera mencari sarapan. Ternyata mama baru selesai masak.
“Dari mana kamu, Far? Pagi-pagi kok udah nggak ada?”
“Farah tadi ke sekolah, Ma. Dikira gak libur. Hehe.”
“Pantes. Sarapan sana. Mama baru masak. Sekalian panggil Riza gih suruh sarapan di sini.”
“Kok disuruh ke sini sih, Ma? Sarapan aja di rumahnya sendiri.”
“Lah, kan mama-papanya lagi jenguk adiknya yang di pesantren dari kemarin. Udah ajak ke sini cepet.”
Berat hati aku menjalankan perintah ibundaku tercinta. “Ikhlas, Faraaaahhh!” ujarku pada diri sendiri sebelum berhadapan dengan makhluk satu itu. Aku mengetuk pintu rumahnya.
“Eh, Farah. Ada apa ya?” tanyanya lagi-lagi manis.
“Belum sarapan kan lo? Sarapan di rumah gue aja.”
“Aiihh. Ada yang perhatian juga sama gue. Doa lo yang tadi terkabul tuh.”
Oh, bersabarlah. Kalau saja aku tak ingat bahwa surga itu di telapak kaki ibu, mungkin makhluk di hadapanku ini tidak akan selamat.  “Mama yang nyuruh. Cepet deh. Kalau gak mau juga gak apa-apa. Bagus malah.”
“Jelas mau lah. Gue kunci pintu dulu.”
“Dasar otak gratisan!”
Aku menggiringnya ke rumah. Aku membuka pintu pagar dan ia dengan sopannya mendahului langkahku dan masuk begitu saja ke rumah bak seorang raja. Dikasih hati minta jantung, ampela sama paru-paru, pikirku. Benar saja. Dia sudah duduk manis. Aku tak pernah membayangkan semeja makan dengannya. Oke, aku tersenyum manis seperti madu. Berpura-pura menikmati pagi yang indah ini.
“Lama gak ke sini yah, Za?” tanya Mama.
“Maaf Tante, aku baru main lagi ke sini. Aku ngangenin ya?” jawab Riza.
“Ah, ngapain kangen sama kamu, orang tiap hari juga bisa ketemu. Tinggal main ke sebelah.” jelas Mama.
“Ahahahahaha. Pede dahsyaattt!” seruku.
“Yah, Tante. Jadi malu kan saya.” aku Riza.
“Emang punya malu? Nggak punya juga.” terkaku.
“Yee, nggak punya mah beli aja di warung. Udah banyak yang jual kali.” elaknya.
“Udah, udah. Ini mau sarapan apa mau adu mulut? Makan dulu. Terusin lagi nanti.”
Oh baiklah, perutku sudah bernyanyi. Tak ada waktu untuk meneruskan perdebatan. Lelah. Cukuplah berurusan dengannya hari ini. Dengan lahap menu sarapan ini aku santap. Sederhana. Nasi goreng sosis dan cap cay cukup. Ditutup dengan air putih. Kenyang. Aku rasa waktunya menghilang dari adegan ini. ”Ma, aku ke kamar ya. Piringnya udah aku cuci.”
“Gue nggak diantar balik nih?” tanya Riza.
“Pesen taksi aja Za, biar cepet nyampe.” saranku. Kutinggalkan mereka di ruang makan. Kamarku sepertinya melebihi pesawat pecah. Ah. Kacau sekali hari ini.  Habis sudah Riza jadi bahan pelampiasan kekacauanku. Wajar sih, sikapnya pas sekali. Menyebalkan. Peduli amat dengan reputasi baiknya di sekolah, nyatanya ia menjadi pribadi yang tak menyenangkan di rumah.
Di sekolah, menyapa pun hampir tidak pernah bila bertemu atau berpapasan sekali pun. Tapi, di rumah ia seperti ini. Aku memang bertetangga dengannya sejak kecil dan aku baru satu sekolah dengannya saat SMA ini. Dulu dia tidak seperti ini. Ramah dan baik di mana pun, setahuku. Tapi aku baru tahu kelakuannya seperti ini ya sekarang ini. Apa lagi di sekolah. It’s so weird, huh? Apa Riza punya dua kepribadian? Who knows?
Aku terlelap dalam keadaan memikirkan dia. Itu jelas hal yang buruk bukan? Menyedihkan. Aku malah terhanyut oleh pikiran-pikiranku tentangnya. Dan aku menikmatinya. Aku tahu ini salah. Semua adalah pradugaku yang belum tentu benar. Sudahlah, enyahkan saja. Memikirkan itu tidak akan mengubah nilai ulanganku juga kan? So, useless.
            Sayup-sayup terdengar petikan kunci-kunci gitar mengudara menjadi sebuah lantunan lagu. Siapa lagi kalau bukan si tetangga. Aku hendak berangsur dari kasurku ke balkon depan. Balkon depan kamarku sejajar dengan balkon depan kamarnya. Ini juga musibah bagiku. Aku mengurungkan niatku. Bertemu dengannya sama saja berperang seperti tadi pagi.
            Aku menuju meja belajar untuk mengalihkan perhatianku dari si tetangga itu. Aku memasukkan buku-buku pelajaran esok. Aku tenang hari ini tidak ada pekerjaan rumah yang harus kukerjakan. Tapi aku tak tenang mendengar petikan-petikan gitar yang mengudara itu. Walau buku kupegang, mataku beralih ke jendela. Aku mendekat ke jendela untuk melihatnya. Ia bersandar di sudut balkon sambil memetik gitar.
            Aku tak tahu lagu apa yang tengah ia mainkan, tapi aku sungguh terhanyut karenanya. Ia tidak bernyanyi, ia hanya menggumam lirih. Oh Tuhan, inikah yang membuat semua orang berteriak ketika melihatnya? Ia tetap bertahan dengan gayanya yang seperti itu. Sesekali ia berhenti untuk meneguk air putih di gelas beningnya. Aku tak tahu apa yang ada dibenaknya, tapi senyumku mengembang tanpa perintah ketika melihatnya tertawa kecil dan tersenyum.
Oh tidak. Sudah berapa lama aku tidak menginjakkan kaki di bumi? Sudah berapa lama aku berdiri di sini untuk memperhatikannya? Sejak kapan aku mematung tak berdaya hanya karena melihatnya? Sejak kapan pertahananku runtuh oleh karismanya? Tidak. Aku pasti masih bermimpi. Seseorang, pasti datang membangunkanku. Ya, membangunkanku.
“FARAH!”
Oh Tuhan, terima kasih telah mengutus seseorang untuk membangunkanku. Ini memang mimpi, pikirku. Aku memalingkan wajahku ke arah suara yang memanggilku itu. “Ya Tuhan, Bellatrix Lestrange!” lirihku. Rambut sepunggungnya keriting sempurna. Wajahnya keras dan datar. Dia bahkan benar-benar sinis saat memicingkan mata. Itulah mengapa sekilas ia seperti salah satu pelahap maut di kisah Harry Potter itu. Dia Tante Diana, guru privatku. Aku benar-benar lupa kalau hari ini jadwal privatku.
“Dari tadi dipanggil kenapa nggak nyahut juga? Katanya mau dapet rangking 1, eh? Cepet ke bawah! Bawa buku-bukumu.”  ujarnya setengah teriak.
“Oh baiklah.”
***
“Ma.. Siapa yang ngirim bunga? Banyak banget lho ini.” tanyaku ketika menemukan banyak bunga mawar di depan pintu rumah. Lama tak kudengar jawaban apapun dari Mama. Mungkin ia sedang tak ada di rumah. Kalau ia di rumah pasti bunga-bunga ini sudah diletakkan di dalam.
Hawa panas sepulang sekolah ini membuatku ingin segera menyegarkan diri. Aku menaiki tangga ke kamarku di atas. Tiba-tiba sesuatu terjatuh dari bucket ini. Sepertinya sebbuah surat dari sang pengirim. Aku tak tahu ini untuk siapa, tapi yang jelas sungguh beruntung orang yang menerimanya. Ya, kurasa ini untuk Mama. Dia memang memiliki banyak penggemar selepas kepergian ayahku.
Aku terus melangkahkan kakiku menuju kamar. Tapi, aku sungguh sangat penasaran dan kubuka surat itu perlahan. Benar-benar tak ada nama pengirimnya. Ya, tentu aku makin penasaran.

Jika ada orang yang paling takut di dunia, itu adalah aku.
Karena untuk meminta maaf saja, aku harus menguntainya dengan mawar-mawar ini.
            Wow. Siapapun itu, dia benar-benar puitis.
Maaf karena aku tak memiliki keberanian untuk mengutarakan maaf ini padamu.
Maaf karena aku tak memiliki kuasa untuk menatapmu, menyapamu, bahkan menyentuhmu.
Maaf karena aku selalu senang melihatmu kesal dan marah.  Melihatmu tertawa dan tersenyum sungguh menenangkanku.
Maaf karena sifat acuhku yang menyakitimu.
Maaf karena selalu membuatmu kesal. Hanya dengan cara itu kau memperhatikan keberadaanku.
Maaf karena aku telah lama jatuh hati padamu.

“Jadi, gue dimaafin nggak nih?”
Ya Tuhan. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi sebenarnya. Tapi kini seluruh aliran darahku seperti berhenti mengalir. Otakku seperti membeku dan.. retinaku benar-benar tak mampu melihat dengan benar.
“Lo?” tanyaku kaget. Aku tak sadar telah menginjakkan kakiku di balkon ini. Aku benar-benar tidak percaya melihat Riza berdiri di seberang sana dengan setangkai bunga mawar di tangannya. Bunga yang sama dengan bunga-bunga yang ada di pangkuanku ini. Apa aku masih bermimpi? Siapapun, tolong sadarkan aku.

-- Selesai --

Tidak ada komentar:

Posting Komentar