Sabtu, 05 Februari 2011

Sevilla Andalusia

By Pinot Kursan

“Sevilla Andalusia… nama yang bagus…” Ibu berbaju rapi yang duduk di hadapanku memuji namaku seraya tersenyum.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman.

”Ibu harus panggil kamu apa? Sevilla atau....”

”Andalusia...” Aku menjawabnya singkat.

Ibu itu tersenyum dan mengangguk.

Mungkin dia heran, nama panggilanku sepanjang itu. Biar saja, aku jelas tidak ingin memotong-motong namaku hanya untuk panggilan.

Aku sedang duduk di ruang tamu sebuah yayasan, ditemani ibu cantik berbaju rapi, sepertinya baju itu seragam kantornya karena hampir semua orang di ruangan ini menggunakan baju yang sama. Ibu cantik itu bernama Yasmin Puspita, itu yang tertulis di papan nama yang tertempel di dada kanannya.

”Kamu mau minum?” Tanyanya.

Aku menggeleng, lalu kembali menunduk.

”Kamu tidak lapar? Berkasmu masih lama loh jadinya, mending makan dulu, Ibu pesankan ya?”

”Ngga bu, makasi..” Aku kembali menggeleng, tersenyum padanya.

”Kalau kamu bosan nunggu disini, kamu bisa duduk-duduk di taman belakang.. Disana lebih ramai, ini waktu nya istirahat.. Biasanya banyak anak-anak yang bermain disana..”

Ibu Yasmin sepertinya tahu betul kalau aku merasa tidak nyaman di ruangan itu.

Mata orang-orang berseragam di ruangan ini seperti sibuk mengawasiku dari ujung rambut hingga ujung kaki, seperti sedang mengidentifikasi virus apa yang ada pada diriku. Hanya ibu Yasmin yang berusaha membuatku nyaman. Tapi tetap saja aku merasa sesak napas. Aku tidak tahan.

”Bu, saya ke taman belakang saja ya..” Aku meminta ijin pada Bu Yasmin.

”Oh iya silahkan..”

Beberapa menit kemudian aku sampai di taman belakang, mengikuti petunjuk arah yang diberikan ibu Yasmin sebelum aku meninggalkan ruangannya.

Benar kata Bu Yasmin, taman belakang cukup ramai. Ada yang sibuk bercerita, membaca, menulis, mendengarkan musik, bahkan ada juga yang hanya duduk saja.

Aku mencari posisi ternyaman. Mataku menyapu sekeliling taman, mencari tempat yang sepi. Aku sedang tidak ingin duduk berdekatan dengan keramaian, aku sedang tidak ingin menyapa, disapa, apalagi diajak mengobrol.

Akhirnya aku menemukan kursi kosong di dekat pohon di samping taman.

Sesaat kemudian aku terduduk. Karena aku tidak membawa bekal bacaan, maka aku hanya bisa mengisi waktu dengan duduk menikmati angin taman.

Aku membayangkan Bunda. Membayangkan malam ini aku akan tidur di tempat asing tanpa ditemani Bunda. Aku ketakutan. Ini menyeramkan.

”Hai.. Kok mojok sendirian?”

Tiba-tiba suara berat laki-laki mengagetkanku. Membuyarkan lamunanku. Dia menghilangkan bayangan Bunda.

Aku kesal. Tidak kujawab sapaannya. Aku hanya menoleh lalu sesaat kemudian kembali mengarahkan pandaganku ke arah lain.

”Boleh aku duduk di sini?” Tanya laki-laki itu sambil dengan cepat dia meletakkan badannya di sebelahku.

“Buat apa nanya kalau ngga nunggu jawabannya..” Jawabku ketus.

“Ahh akhirnya kamu bersuara juga, aku pikir kamu bisu..” Dia tertawa, seakan puas akhirnya aku menanggapi kalimat-kalimatnya.

Kali ini aku tidak menjawab. Aku hanya melempar pandangan kesal hampir marah tepat ke matanya. Kurasa dia paham aku marah, dia hanya tidak peduli.

”Siapa namamu?” Tanyanya.

Aku diam menatap ke depan, kuanggap saja tidak ada siapa-siapa di sampingku. Laki-laki ini terlalu lancang.

”Lagi ngga mood bicara? Atau sariawan?”

Kali ini dia menyondongkan sedikit badannya mendekat ke badanku. Aku semakin kesal!

”Maaf, aku ngga biasa ngobrol sama orang yang ngga dikenal..”

”Ya makanya kenalan dulu..” Dia memaksa.

”Namaku Elgar Kelandra, namamu siapa?” Laki-laki itu kemudian mengulang pertanyaannya.

Aku masih tetap terdiam.

”Kamu ngga punya nama?”

”Perempuan secantik kamu ngga punya na....”

”Sevilla Andalusia!” Aku buru-buru menyebut namaku sebelum dia semakin keterlaluan.

”Sevilla Andalusia... Andalusia.. Namamu cantik, apa artinya?”

”Buat apa tahu arti namaku?”

”Seperti yang aku bilang tadi, namamu cantik. Aku suka namamu, Andalusia.. Makanya aku ingin tahu artinya..” Matanya seperti berkilat-kilat waktu menyebut namaku. Dia begitu bersemangat.

Ya, akhirnya aku menatap matanya. Dan entah kenapa kilat itu seperti menyambar tepat di mataku. Kali ini aku tidak sanggup marah lagi. Ternyata wajah laki-laki ini begitu ramah.

Satu lagi, dia tidak memotong namaku. Laki-laki ini menyebut lengkap namaku. Andalusia.

"Itu nama tempat tinggal ayahku, dan seperti yg kamu bilang, Andalusia itu cantik.." Aku menjawab tapi tidak mengarahkan pandangan padanya, aku lebih memilih memainkan kuku tanganku.

”Hmm... Tempat tinggal ayahmu?”

”Itu alamat ayahmu?”

Tepat seperti dugaanku. Laki-laki ini pasti tidak tahu apa itu Andalusia. Apalagi sampai tahu dimana letaknya.

Kali ini aku tersenyum padanya. Kulelehkan benteng dinginku. Aku menjadi bersemangat untuk bercerita tentang Andalusia. Selalu, seperti biasanya.

”Wah, kamu senyum?!”

”Kalau Andalusia itu cantik, senyummu jauh lebih cantik barusan itu” Ucap Elgar menggodaku.

”Gombal!” kataku dalam hati.

”Andalusia itu nama daerah di Spanyol.. Kamu tahu Spanyol kan?” Tanyaku memastikan.

Elgar menggangguk, terlihat dia menantikan aku melanjutkan ceritaku.

“Kata Bunda, Andalusia itu tempat yang indah.. dataran hijau rerumputan, laut biru yang luas dengan payung awan putih diatasnya..”

”Bangunan-bangunan klasik Eropa dengan cahaya lampu kuning yang memenuhi kotanya kalau malam..”

”Kata Bunda, sangat romantis disana..”

Aku menerawang jauh, membayangkan bagaimana dulu Bunda selalu bercerita tentang Andalusia padaku sebelum aku tidur.

”Pasti Sevilla nama dari Bunda kamu ya?”

”Sevilla itu nama kota di Andalusia. Disitu tepatnya ayahku tinggal. Bunda bertemu ayah disana.”

”Kata Bunda, Sevilla adalah kota yang mengantarkan dia pada cinta Ayah.”

Ceritaku seperti mengalir lancar dari hati. Padahal biasanya aku tidak gampang akrab dengan orang, apalagi sampai bercerita tentang Ayah dan Bunda. Tapi aku seperti tidak bisa menahan kata-kata untuk bercerita pada Elgar.

”Jadi Sevilla Andalusia itu nama kota? Kamu dinamai seperti kota tanpa ditambah nama lain?”

”Egois sekali ayahmu. Tidak membiarkan ibu mu memberikan nama tambahan.” Elgar menambahkan.

”Bunda yang memberikan nama itu.” Aku tersenyum pada Elgar.

Wajah Elgar terlihat semakin penasaran. Padahal tidak ada untungnya juga dia tahu sejarah dan arti namaku. Tapi gayanya sudah seperti detektif.

”Bundamu pasti cinta sekali ya sama ayahmu sampai dia menamaimu persis sama dengan kota asal ayahmu?”

Elgar tersenyum. Kali ini kulihat senyumnya lebih manis.

Aku mengangguk membenarkan pertanyaannya.

”Bunda menyimpan cinta untuk ayah lewat namaku. Agar dia selalu bisa mengingatnya, dan agar aku selalu bisa bersama ayah lewat namaku.”

"Kamu tinggal di Andalusia?"

"Tidak, hanya ayahku. Aku bahkan belum pernah kesana."

"Kenapa?"

"Kata bunda supaya orang disini tahu cantiknya Andalusia, aku pun tak paham maksud Bunda."

”Hahahahaha.....” Tiba-tiba Elgar tertawa kencang.

”Kenapa ketawa?” Aku bertanya sinis pada Elgar.

”Oh maaf..” Dia menghentikan tawanya.

Elgar tidak melanjutkan penjelasannya. Aku pun tidak ingin tahu.

”Kamu menunggu Bundamu?”

Aku menggeleng lalu tertunduk.

”Aku menunggu Bu Yasmin.”

”Oh kamu donatur di yayasan?”

”Bukan, aku menunggu Bu Yasmin menyelesaikan berkas-berkasku..” Aku menjawab tidak bersemangat.

”Kamu penghuni yayasan juga?!” Elgar terkejut.

”Iya..” Jawabku lesu.

”Lalu Ayah dan Bundamu yang kamu ceritakan tadi?!”

”Bundaku baru saja meninggal beberapa hari lalu. Aku tidak punya keluarga lain disini. RS tempat bunda dirawat merekomendasikan aku ke yayasan ini..”

”Disinilah aku sekarang..” Aku mengakhiri penjelasanku.

”Lalu Ayahmu?”

”Aku hanya tahu ayahku lewat namaku dan cerita bunda..”

Elgar tampak bingung. Aku kemudian melanjutkan penjelasanku sebelum dia semakin menebak-nebak.

”Aku pun tidak pernah bertemu ayahku. Kata bunda, ayah tinggal di Andalusia, hanya itu saja yang aku tahu.”

”Tiap malam bunda bercerita tentang indahnya Andalusia dan bagaimana mereka bertemu, tapi bunda tidak pernah bercerita kenapa ayah tidak tinggal bersama kami disini atau kenapa kami tidak tinggal di Andalusia bersama ayah.”

”Aku pun tidak ingin tahu.”

”Kalau kamu tanya kenapa. Karena aku tidak ingin membenci ayah. Kata bunda, bunda sangat mencintai ayah. Cukup itu saja yang aku tahu.”

”Aku akan mencintai ayah lewat lukisan Andalusia yang bunda goreskan setiap malam lewat ceritanya. Sekarang lukisan itu sudah lengkap di anganku.”

”Suatu saat aku akan sampai di Andalusia. Tidak untuk mencari ayah, tapi untuk membuktikan keindahannya.”

”Kata bunda, aku hadiah terindah dari cahaya malam Andalusia. Kata bunda lagi, hanya dengan tersenyum, aku bisa menghadirkan kecantikan Andalusia."

Kali ini aku benar-benar mengakhiri penjelasan panjang tentang hidupku. Aku memberikan isyarat pada Elgar bahwa aku sudah tidak ingin bercerita tentang ini lagi, dan kurasa Elgar mengerti. Dia mengangguk-ngangguk lalu tersenyum.

”Andalusia!”

Terdengar suara Bu Yasmin memanggil namaku dari arah belakang.

Aku segera menoleh. Tidak menjawab, aku hanya menatap wajahnya.

”Berkas kamu sudah selesai, kamu ke ruangan sekarang buat tanda tangan ya..”

Bu Yasmin kemudian berbalik, berjalan kembali ke arah ruang administrasi.

”Aku ke ruangan Bu Yasmin dulu ya, makasi tadi udah ditemani..” Aku berpamitan pada Elgar dan dengan segera mengangkat badanku dari kursi taman.

Elgar menjawab dengan tersenyum.

”Andalusia!” Elgar memanggilku saat aku mulai beranjak.

”Kamu harus lebih banyak tersenyum supaya orang bisa tahu gimana cantiknya kota Andalusia, seperti kata bundamu..”

Aku melihat senyum tulus dari wajah Elgar, dia tidak sedang menggodaku.

Aku tersenyum ke arahnya, sedikit lebih lama aku menatapnya lalu kemudian aku berbalik berjalan menuju ruangan Bu Yasmin.

Obrolan siang itu dengan Elgar membuatku bisa mengingat senyum bunda ketika mendongeng tentang Andalusia saat mengantarku tidur. Elgar tidak menghilangkan bayangan bunda, justru dia kembali menghadirkan bunda dalam setiap kata-kata ceritaku tadi. Mungkin karena itulah ceritaku bisa mengalun bebas padahal aku tidak kenal dengannya. Mungkin karena aku terlalu merindukan Bunda.

Bunda meninggal tepat seminggu yang lalu setelah hampir tiga tahun menderita kanker darah. Rumah sakit tempat bunda dirawat kemudian merekomendasikan aku agar tinggal di yayasan ini.

Aku sengaja bilang tidak punya keluarga pada Elgar untuk menghentikan dia bertanya. Sebenarnya ada bapak, ibu, dan adik bunda. Kakek, nenek dan tanteku. Tapi mereka tidak mau menerimaku. Aku sudah tahu itu sejak lima tahun lalu bunda mengajakku berkunjung ke rumah mereka. Mereka jelas-jelas menolak kami. Aku tidak pernah bertanya pada bunda, karena aku memang tidak ingin  tahu. Yang aku tahu mereka tidak menginginkan kami. Jadi ya biarkan saja begitu.

Ayah. Aku hanya tahu dia laki-laki yang sangat dicintai bunda. Sosoknya pun jarang digambarkan dengan jelas oleh bunda. Bunda lebih sering melukis Andalusia di malam-malamku. Aku hanya bisa membayangkan ayah lewat namaku, tempat ayah dan bunda bertemu dan berbagi cinta. Aku pun tidak ingin tahu lebih jauh.

Delapan belas tahun aku hanya hidup bersama bunda. Berdua. Dan itu sudah cukup bagiku. Delapan belas tahun yang penuh arti. Setiap malam selama delapan belas tahun bunda selalu mengajakku mampir ke Sevilla Andalusia lewat cerita, bahkan ketika dia sedang terbaring sakit pun, semangatnya tak berkurang untuk mengajakku bermain di Sevilla Andalusia.

Dan suatu saat aku akan sampai disana. Bersama bunda dalam hatiku.

Langkahku terhenti di depan pintu ruangan Bu Yasmin. Kali ini aku menyapa Bu Yasmin dan seisi ruangan dengan tersenyum. Aku ingin orang-orang seisi ruangan ini bisa melihat kecantikan Andalusia. Seperti kata bunda dan Elgar.

Cantik seperti namaku. Sevilla Andalusia.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar